Torch Today

SEBUAH ALLEGORI KEMISKINAN

Posted by admin Saturday, June 5, 2010

Ada pepatah yang mengatakan kemiskinan terjadi karena adanya orang-orang kaya. Hubungan antara keduanya ibarat simbiosis yang saling membutuhkan. Di mana ada orang kaya, di situ pasti ada orang miskin. Karena itu, kemiskinan adalah sebuah keniscayaan. Selama bumi masih hidup, kondisi yang kerap dicela orang ini akan tetap selalu ada.
Apakah kemiskinan merupakan hal yang buruk? Kemiskinan diakui sebagai faktor pemicu rawannya kejahatan pada masyarakat. Kemiskinan melahirkan pengangguran dan generasi yang impoten. Ia juga memiliki potensi yang cukup besar dalam menyebarkan penyakit disebabkan tingkat kesehatan yang buruk, sanitasi yang tidak memadai, dan rendahnya mutu gizi. Orang yang berada dalam kemiskinan pun tidak punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi agar dapat memperbarui nasib mereka. Bahkan dalam tataran bernegara, sebuah negara dianggap maju atau berkembang ditilik dari tingkat persentase kemiskinan rakyatnya.
Dengan standar itu kita dapat melihat apakah negara kita termasuk negara maju, berkembang atau miskin karena Indonesia bagaimana pun tidak pernah kekurangan pangan. Namun fakta yang ada adalah hampir 80% rakyat negeri seribu pulau ini berada di bawah kemiskinan 1.
Jika kemiskinan adalah keniscayaan, dan sesuatu yang kekal ini akan selalu menjadi masalah bagi umat manusia, lalu bagaimana cara kita mengatasinya? Islam, sebagai agama rahmat untuk semesta alam telah mengajarkan bahwa zakat, sedekah dan infak adalah jembatan yang menghubungkan antara si miskin dan si kaya. Ketika Islam lahir, nabi Muhammad SAW mengusung isu kesenjangan social yang terjadi pada masyarakat jahiliyah mekkah saat itu. Bagaimana orang-orang miskin dan lemah ditindas dan dirampas haknya oleh mereka yang kuat dan memiliki kekuasaan. Tidaklah mengherankan jika orang-orang kafir Quraisy menolak zakat yang memerintahkan mereka membagi sebagian harta kekayaannya dengan orang-orang miskin. Zakat adalah sebuah keharusan bagi orang-orang kaya terhadap saudara mereka yang membutuhkan.
Sejak awal, Islam memiliki kewajiban untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara di mana orang-orang miskin dan lemah diperlakukan secara layak. Bahkan pesan moral Al Quran yang pertama sangatlah sederhana; janganlah menimbun kekayaan dan keuntungan bagi diri sendiri; tetapi bagilah kemakmuran secara merata dengan menyedekahkan sebagian harta kepada fakir miskin 2. Hal ini sesuai dengan apa yang Allah firmankan tentang perintah berbagi harta kepada orang miskin, yaitu; agar harta yang ada tidak hanya beredar di kalangan orang kaya saja (Q.S Al Hasyr : 7)
Kepedulian Islam tentang keadilan yang merata ini menjadi ciri utama peradaban Islam pada abad-abad selanjutnya. Islam dipandang sebagai agama yang bersifat unilateran. Rasullullah sering memperingatkan kita untuk tidak menghardik orang miskin karena sebagian harta kita terdapat hak-hak mereka. Perintah ini senantiasa diikuti oleh para sahabat beliau dan semua tercermin dalam kebijakan-kebijakan kepemimpinan khalifah yang empat (Khulafaul Rasyidin). Pada awal pidatonya khalifah Abu Bakar mengatakan bahwa ia akan menganggap orang yang lemah sebagai orang yang kuat agar dapat memberikan dan mengembalikan haknya, sementara orang yang kuat ia anggap orang yang lemah agar dapat mengambil hak darinya 3. Lalu bagaimana terkejutnya khalifah Umar ibn Khattab mengetahui masih ada orang miskin di dalam negerinya ketika ia menyamar menjadi orang biasa dan berjalan pada malam hari untuk mengamati rakyatnya 4. Pada masa khalifah Utsman pun lembaga Baitul Mal berjalan dengan baik dalam menyalurkan zakat kepada fakir miskin sehingga kemakmuran dan kesejahteraan dapat dinikmati secara merata.
Jika kita melihat keteladanan di atas, setidaknya kita dapat menarik kesimpulan bahwa membasmi kemiskinan bukan berarti memberantasnya hingga musnah dan menjadikan mereka orang kaya, tetapi membuat keadilan di tengah mereka sehingga mereka dapat menikmati hidup yang layak. Artinya, distribusi dan pembagian harta kekayaan serta kemakmuran harus berjalan dengan adil. Janganlah berpikir bahwa pada masa khalifah yang empat dan masa keemasan Islam tidak ada orang miskin. Tetapi hampir tidak ada teriakan yang menjerit dari orang miskin akibat ketidakadilan saat itu. Mereka hidup nyaman dan tidak resah karena pemimpin mereka dapat memberikan kesejahteraan dan ketentraman.
Indonesia, sebagai negara yang dengan bangga menyebut dirinya negara mayoritas berpenduduk muslim terbesar, seharusnya dapat menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Karena itu, sudah sepatutnya masalah kemiskinan di negara kita merupakan pekerjaan rumah paling utama bagi para pemimpin kita. Indonesia harus mempunyai program yang peduli dan memihak orang miskin. Hal ini bukan berarti pembagian uang gratis, tetapi adanya lembaga ekonomi yang jujur, pemerintahan yang baik, sekolah yang murah, pemukiman yang layak, rumah sakit yang tidak diskriminatif serta lapangan kerja yang cukup, dapat mewakili apa yang mereka butuhkan. Tentu saja semua itu ditunjang dengan standardisasi yang baik pula. Artinya tidak ada perbedaan antara yang diberikan kepada orang miskin dan yang diberikan kepada orang kaya. Segi kualitas dan kuantitas harus berimbang.
Tidak dapat dipungkiri, Indonesia adalah negara kaya yang penuh dengan kekayaan alamnya. Bahan makanan begitu melimpah ruah. Sawah-sawah terhampar luas dan lautan yang menyimpan banyak sumber daya. Tetapi ironisnya, negara kita sekarang sudah hampir menyerupai negara miskin. Hanya segelintir orang saja yang dapat menikmati itu semua, sedangkan sisanya rela menelan pahit janji-janji pemerintah hingga mereka mati kelaparan. Hal ini disebabkan adanya pembagian kekayaan yang tidak merata. Masyarakat kita seolah mengenal prinsip hanya orang kaya yang berhak hidup dan menang, sedangkan orang miskin dilarang memiliki hak untuk hidup. Yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya. Meski Indonesia tidak mengakui dirinya sebagai negara penganut paham kapitalisme, tapi pada kenyataannya kita dapat menyaksikan praktik itu di tengah masyarakat kita 5. Sebagai contoh, bagaimana pasal 33 UUD 1945 hanya berlaku bagi 20% penduduk Indonesia. Bahkan pasal ini hampir tidak pernah direalisasikan.
Aneh tapi nyata. Sebagai negara miskin, Indonesia malah menuliskan masalah kemiskinan pada daftar paling bawah dari agenda rapat para wakil rakyat. Para anggota DPR lebih suka mengedepankan anggaran untuk studi banding ke luar negeri dari pada mengurusi banyaknya kasus orang yang benar-benar miskin tidak mendapatkan kupon dana kompensasi BBM. Hampir tidak ada instalasi pelayanan jasa pemerintah yang tidak memihak orang miskin. Sebagaimana halnya orang miskin menganggap rumah sakit adalah tempat paling jahat yang rela membiarkan ibu atau anak mereka mati diteras lantainya hanya karena tidak mampu membayar biaya administrasi 6. Begitu juga sekolah, bagi orang miskin, lembaga pendidikan itu adalah tempat yang paling mengerikan dan diskriminatif. Biaya yang dikeluarkan hanya karena ingin anaknya pintar sampai harus mencekik leher mereka mati-matian. Untuk melanjutkan ke jenjang yang tinggi, mereka harus menjual apa yang mereka punya, sementara itu pemerintah menganjurkan mereka untuk menjadi cerdas. Selain itu, mutu dan fasilitas yang diberikan untuk sekolah miskin sangat berbeda dengan yang terjadi pada sekolah yang mayoritas siswanya orang kaya. Siswa orang kaya dapat menikmati pelajaran komputerisasi, laboratorium, gedung sekolah yang megah, dan fasilitas lainnya yang mentereng. Jarang sekali pemerintah atau pejabat departemen pendidikan meninjau atau memperbaiki sekolah-sekolah miskin yang bangunannya hampir roboh. Mereka baru peduli jika ada laporan kecelakaan yang menelan korban jiwa. Bahkan mereka bisa berpikir lebih pragmatis, sekolah murah lebih baik digusur dan dijadikan mall atau tempat rekreasi lainnya. Dalam hal distribusi sembako pun, orang miskin tetap diperlakukan tidak adil. Bagaimana untuk program raskin (beras untuk orang miskin), pemerintah hanya menyediakan beras yang berkualitas rendah bahkan tidak bermutu sama sekali.
Fakta-fakta di atas sungguh menyedihkan. Kesenjangan social dan jurang pemisah antarkelas social semakin melebar dan tajam. Jika hal ini dibiarkan terus, maka yang akan terjadi di tengah masyarakat kita adalah kerusuhan, kericuhan dan keresahan. Teriakan untuk memberantas ketidakadilan akan semakin santer terdengar. Tingkat kejahatan akan mencapai ketinggian yang fantastis. Kematian bayi akan melambung dan wabah penyakit akan semakin merajalela. Hal paling terburuk adalah timbulnya rasa ketidakpercayaan rakyat kecil kepada pemerintah. Krisis kepercayaan dan rasa antipati ini dengan sendirinya akan menimbulkan ketidakaturan dan ketidakdisiplinan masyarakat.
Ini merupakan bahaya laten yang senantiasa dapat meledak. Kondisi yang penuh dengan ketidakadilan kepada rakyat kecil ini dapat menjadi lahan yang subur bagi tumbuhnya gerakan sosialisme dan komunisme. Adalah hal yang tidak mustahil jika paham ini dapat lahir kembali di Indonesia karena sosialisme dan komunisme menghendaki tatanan masyarakat yang tidak mengenal kelas social. Yang lebih mengerikan lagi adalah maraknya gejala ateisme di tengah masyarakat kita. Kaum miskin yang semakin termarjinalkan merasa Tuhan atau agama tidak memedulikan kondisi mereka. Bagaimana tidak, isu korupsi tentang dana abadi umat yang dilakukan oleh para pejabat departemen agama adalah rahasia umum yang diketahui orang banyak. Bagaimana bisa, sebuah departemen agama, yang notabene anggotanya bergelar alim ulama dan ustadz, dan berasal dari ormas Islam atau lulusan negara-negara Islam bisa mengkorupsi begitu banyak dana, sedangkan tugas mereka yang utama adalah melahirkan generasi yang jujur dan anti-korupsi. Ketidakpercayaan kepada pemimpin yang mengurusi agama dengan sendirinya akan meragukan agama itu sendiri dan nantinya meradangkan penyakit ateisme. Maka tidaklah heran rasullullah bersabda bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran. Orang Islam bahkan rela menukar keyakinannya hanya dengan sebungkus mie.
Tapi sungguh sayang, kemiskinan bukannya menjadi perhatian yang serius untuk diatasi, tapi ia pun sekarang telah menjadi semacam komoditi bagi kelompok tertentu. Kemiskinan telah menjadi produk opini yang dapat dijadikan alat pemuas tujuan. Kemiskinan sering dipolitisasi sehingga pada masa kampanye, para calon begitu getol menebar janji gombal untuk menekan tingkat kemiskinan. Tetapi setelah pemilu usai, mereka hanya sibuk mencari modal balik kampanye. Kemiskinan pun diagamisasi. Gerakan Kristenisasi bahkan mencantumkan masalah kemiskinan sebagai kunci kesusksesan dalam misi-misi mereka. Tidak sampai di situ, kemiskinan didramatisasi oleh media massa sebagai produk atau program yang dapat meraup rating penonton. Simaklah begitu banyaknya program reality show yang bertemakan atau berlatarkan orang-orang miskin. Orang-orang TV beranggapan dengan mengekspos kesusahan dan penderitaan mereka, acara-acara TV tersebut dapat sedikitnya meringankan atau menghibur mereka. Tetapi apakah bagi yang menontonnya tidak terbesit rasa ingin menolong sesama mereka yang kebetulan tidak terekspos? Jawabannya sudah dapat dihitung dengan jari. Pemerintah pun bahkan semakin tuli dan buta meski banyak media TV menayangkan dan melaporkan betapa kritis kondisi masyarakat kecil kita seperti halnya penduduk Yahukimo, para pengungsi bencana alam yang berserakan di nusantara, dan korban penggusuran yang dilakukan oleh para aparat pemda yang bengis dan kejam.
Berbicara tentang orang miskin memang tidak akan ada habisnya. Banyak faktor yang dapat menjebak kita yang betul-betul dengan tulus ingin membantu mereka. Tidak jarang kemiskinan terjadi karena sifat manusia itu sendiri yang malas, tidak mau bersusah payah bekerja, dan tidak adanya keinginan untuk mencari hidup yang lebih baik. Mereka ini kadang bercampur dengan orang-orang yang betul-betul miskin dan tidak bisa apa-apa. Kita menjadi tidak bisa membedakan keduanya, sementara pemerintah yang tuli dan buta malah menyamaratakannya. Tetapi bagi orang miskin, masih ada satu hiburan lagi, yaitu semangat untuk hidup. Selama semangat ini berkobar, mereka dapat melewati hari-hari berat dengan penuh lapang. Ini mungkin sekedar teori. Tetapi semangat hidup yang baik adalah semangat yang berasal dari semangat keimanan yang tinggi. Mereka memiliki keyakinan bahwa Allah tidak akan meninggalkan mereka selama mereka tidak meninggalkan Agama Nya. Mereka percaya masih ada orang baik dan jujur yang peduli kepada mereka meski jumlahnya tidak seberapa. Mereka pun yakin bahwa lebih baik menjadi orang miskin yang berakhlak mulia dan bertakwa dari pada menjadi orang kaya yang berakhlak madzmumah dan tidak mengenal moral. Bagi mereka, kekayaan yang terpenting bukanlah di dalam materi, tetapi di dalam hati. (Arafah)

0 comments

Post a Comment

Torch Stories

Chat Here


ShoutMix chat widget

Recent Posts

Video Today

Photo Gallery