Torch Today

Senja Ramadhan di Jatinangor

Posted by admin Saturday, June 5, 2010

Harun memandang keluar jendela dari balik kelasnya di lantai tiga gedung paling luas di fakultas Fikom itu. Desiran angin menggetarkan kaca jendela beserta daun-daun kering yang turut terbang dan menempel. Jauh di atas sana beberapa selimbut awan yang menggulung berkerumun semakin padat. Awan-awan itu seolah-olah sedang berkumpul membicarakan hal yang serius.

Apakah mereka sedang membahas berapa banyak yang akan diturunkan nanti? Harun tersenyum. Dia mencoba mengenyahkan pikiran yang konyol itu. Tapi pikiran mana yang tidak membuatnya tampak konyol? Hampir sebagian besar kepalanya dipenuhi oleh hal-hal semacam itu, seperti sebuah terapi untuk tidak merasai perutnya yang mulai berbunyi. Saripati dan gizi pada lambungnya sudah lama menguap. Itulah asal muasal mengapa Harun harus rela berbengong ria dan melamun ke sana kemari.
Teriakan-teriakan dosennya di depan kelas sama sekali tidak diindahkannya. Harun bahkan ragu apakah ia menyimak betul mata kuliahnya itu atau hanya kilatan lalu yang mampir sebentar di gendang telinganya lantas pergi entah ke mana.
Selama itu Harun merasa kosong hingga satu menit terasa bagai satu jam. Setelah jam tangannya menunjuk angka setengah empat, barulah ia merasa lega. Akhirnya detik-detik yang membosankan itu usai sudah.
Angin dingin langsung menerpa wajah Harun ketika ia menyusuri lapangan parkir kampus. Cahaya matahari sudah menguning menuju kejingga-jinggaan. Hembusan daun-daun yang berjatuhan membuat Harun menggigil. Ia naikkan resleting jaketnya sampai dagu lalu menengadah. Semoga hujan tidak turun sebelum ia sampai ke terminal bus.
Harun pun pulang dan tergopoh-gopoh menuruni tanjakan dari kampusnya. Ia terpaksa berjalan kaki karena uangnya pas-pasan. Hanya cukup untuk sekali pulang. Pakaiannya tampak berkibar-kibar diterpa tiupan hawa senja.
Ketika melewati komplek sastra, temannya Ami dan Treswa melambaikan tangan mereka lalu menyusulnya dari kejauhan. Ami dan Treswa adalah sahabat karibnya sekaligus teman sependeritaannya di bus yang sama. Ami adalah mahasiswa sastra Perancis sedangkan Treswa adalah mahasiswa Diploma Editing. Ketiganya bertemu pertama kali di dalam bus. karena setiap pulang pergi selalu kebetulan melihat wajah yang sama, mereka lalu berkenalan dan berteman akrab. Dalam perjalanan pulang, Ami pulang terlebih dahulu, disusul Treswa lalu Harun yang tempat tinggalnya dekat dengan terminal terakhir. Maka untuk situasi seperti ini Harunlah yang paling menderita.
Tapi sebentar lagi ia akan pulang, pikir Harun. Dan tak ada yang lebih menyenangkan dari pada pulang cepat, membesihkan badan lalu bersantai menunggu saat-saat yang dinantikan oleh beberapa juta umat Islam yang sedang menjalankan rukun Islam ketiga.
Tak lama, harapan itu terbukti buyar.

“Sialan!” Treswa mengumpat. Dia memasang muka masam sambil memandang pelataran terminal yang kosong melompong. Ami dan Harun pun melakukan hal yang sama.
“Kali ini mereka keterlaluan! Mereka telah keterlaluan!” giliran Harun angkat bicara. Ia berdiri sambil berkacak pinggang. “Ini baru jam empat sore, tidak mungkin bis-bis itu belum datang.”
“Apa boleh buat, kita tunggu saja sebentar lagi,” ujar Ami sambil menggerakkan bahunya. “Mereka biasa datang terlambat kok. Lagi pula tidak ada gunanya kita menggerutu seperti itu.”
Treswa mendengus. Ia memang tidak sabaran. Lain halnya dengan Harun. Ia seperti bom waktu dan kejadian-kejadian menjengkelkan seperti inilah yang bisa membuatnya meledak kapan saja. Akhirnya dengan berat hati mereka akhirnya menunggu di pojok pertokoan yang melindungi mereka dari cahaya matahari sore. Tak lama awan hitam pun datang, menggulung dan menutupi wajah sang surya. Perlahan berputar-putar kemudian menggelapkan langit seluruhnya. Hembusan angin dingin seketika menyerang dari segala arah seolah menyambut kedatangan awan pertanda buruk itu.
Harun dan kawan-kawannya melihat itu penuh getir.
Hari sudah selarut ini namun mereka belum bisa pulang juga. Ditambah pula dengan adanya ancaman hujan yang bakal turun, suasana kini sudah mulai suram. Mereka semakin tidak sabar saja menunggu saatnya berbuka, diiming-iming oleh hidangan pembuka yang manis dan menggiurkan.
Tapi impian itu tidak semulus kelihatannya. Bulan Ramadhan bagi sebagian mahasiswa Jatiangor selalu menemui dilemma di waktu petang menjelang perpulangan, yaitu masalah transportasi.
Mereka sebetulnya tidak perlu menunggu dengan setia bus perusahaan negara itu. Mereka bisa pulang melalui bus cepat antarkabupaten yang relatif lebih murah. Tapi menaiki bus itu sama sulitnya dengan naik bus ‘reguler’. Kendalanya pun sama dan sederhana; macet dan penumpang yang membludak.
Sesekali mereka menemukan harapan ketika bus yang ditunggu datang. Tapi alangkah kecewanya mereka saat mengetahui bahwa bus itu tidak akan ‘narik’ lagi. Tidak hanya Harun yang mengutuk saat itu. Mahasiswa yang lainnya pun ikut mengecamnya.
“Kita harus tuntut mereka barangkali,” Treswa menggertakkan giginya. “Kita demo mereka besar-besaran gimana? Presiden saja bisa jatuh hanya karena demonstrasi mahasiswa.”
Tak ada yang mengomentari usul konyol Treswa tadi. Jalan pikirannya memang kadang berlebihan. Mereka tentu tidak mau berdemonstrasi hanya karena bus yang telat datang.
Hujan lalu turun bergerimis dan jam telah menunjukkan pukul lima lebih dua puluh. Bus yang dirindukan itu tidak pernah datang. Keputusasaan mulai muncul di antara mereka.
Syukurlah sebuah bus yang berlainan jurusan berkenan mengantar mahasiswa yang terlantar itu ke jalan tol meski tidak sampai ke tujuan. Tanpa ragu lagi Harun segera menaikinya dan mendapatkan kursi yang nyaman, tepat di kursi paling belakang.
Selama menunggu bus jalan, Harun terkesiap ketika tiba-tiba muncul banyak orang berseragam hitam biru naik bus dan menyebar di tengah penumpang lainnya. Mereka membagikan pamflet kecil gratis, kemasan gelas air mineral dan bungkusan tajil es bul-bul ke seluruh penumpang yang ada.
“Rezeki dari kami untuk persiapan berbuka puasa,” seorang laki-laki berpenampilan necis dan bertopi haji ala Turki berseru. Wajahnya tampak ramah dan ia terus menebar senyum ke setiap orang yang dijumpainya.
Setelah diketahui, mereka ternyata para aktivis Partai Keadilan Sejahtera Cabang Jatinangor. Mereka membagi-bagikan tajil gratis dalam rangka kegiatan bakti amal Ramadhan.
Di tengah perjalanan Harun, Treswa, dan Ami berbuka dari hasil pemberian mereka ketika tiba waktu maghrib. Harun sempat termenung sebelum menikmatinya. Pikirannya membayangkan acara bakti amal ini merupakan bagian dari acara kampanye Partai Keadilan Sejahtera untuk merebut simpati di pemilu 2004. kemunngkinan itu selalu ada dan terbuka.
Tapi bulan ini bulan suci pikir Harun. Masa sih partai bercorak Islam seperti itu berkampanye hingga menjual amal-amalnya. Ini jelas terlalu murah.
Lebih jauh para aktivis yang membagikan rizki ini mengingatkan Harun atas sebuah Hadist; ‘Barang siapa yang menyediakan sesuatu untuk berbuka bagi saudaranya yang sedang berpuasa, maka ia akan mendapatkan pahala yang sama dengan yang berpuasa itu.’
Kondisi ini mirip di Mekkah ketika menjelang berbuka di bulan Ramadhan. Banyak orang sengaja menyediakan berbagai makanan berbuka secara gratis di depan rumah untuk dibagi-bagikan kepada siapa saja yang sedang melewat.
Harun membayangkan betapa berlipatnya pahala orang yang telah membantu saudara muslimnya berbuka. Sekilas ia merasa iri tapi tak urung dia berusaha menyingkirkan perasaan itu sambil berniat bahwa ia pun bisa melakukan hal yang sama, bahkan ingin lebih dari itu.
Dengan bacaan Basmallah, Harun melahap tajil manisnya dan bus pun melaju mulus di jalan tol yang basah.

0 comments

Post a Comment

Torch Stories

Chat Here


ShoutMix chat widget

Recent Posts

Video Today

Photo Gallery